Kamis, 28 November 2013

Macam-Macam Gaya Kepemimpinan

Setiap orang memiliki gaya kepemimpinan yang unik dan berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, dikenal tida gaya kepemimpinan, yaitu demokratis, laissez faire, dan otokratis. Biasanya dalam memimpin sebuah kelompok, seseorang menggunakan kombinasi dari ketiga gaya tersebut sesuai dg situasi dan kondisi yang dihadapinya. Berikut ini pejelasan dari masing-masing gaya tersebut.
1. Gaya kepemimpinan demokratis
Gaya ini biasanya dimiliki oleh pemimpin yang cenderung melibatkan partisipasi bawahannya.Oleh karena itu, gaya  ini dikebal dengan gaya partisipatif. Partisipasi bawahan dapat berupa mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan, pendelegasian wewenang, peran serta untuk menentukan tujuan organisasi, dan memberikan umpan balik secara terbuka kepada bawahan.
2. Gaya kemepimpinan laissez faire (kendali bebas)
Gaya kepemimpinan ini memberikan kesempatan sebebas-bebasnya kepada bawahan untuk menyelesaikan pekerjaan/masalah dan membuat keputusan. Jika dalam gaya kepemimpinan masih ada peran atasan untuk mengendalikan bawahan dalam bentuk umpan balik, biasanya pemimpin dengan gaya ini cenderung acuh tak acuh. Pemimpin dengan gaya ini menganggap bawahan adalah orang dewasa yang dapat menentukan keputusannya sendiri. Pemimpin hanya berperan dalam menentukan kebijakan secara umum. Dengan demikian, semua tugas akan dikerjakan oleh bawahannya dan membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri. Pemimpin dengan gaya ini akan memfasilitasi dan menjamin kebebasan bawahannya dalam bekerja asal target/tujuan yang ditetapkan tecapai.
3. Gaya kepemimpinan otokratis
Gaya kepemimpinan ini menunjukkan bahwa pemimpin adalah mutlak berkuasa. Biasanya pemimpin yang memiliki gaya kepemimpinan ini akan mendikte bawahan, membuat keputusan sendiri, serta tidak melibatkan bawahan untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah dan berpendapat. Tanggung jawab tugas sepenuhnya dipikul oleh pemimpin. Namun pembagian tugas biasanya merata untuk semua bawahan. Pemimpin dengan gaya ini cenderung kurang memperhatikan kebutuhan bawahan dan tidak berkomunikasi secara efektif (hanya satu arah saja, dari atasan ke bawahan).
  

Selasa, 11 Desember 2012

SMK "Kesenjangan Output dan Outcome"

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan satuan pendidikan formal yang melaksanakan pendidikan kejuruan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian, keterampilan (skill) sesuai dengan program keahlian masing-masing. Diharapkan bahwa dengan skill yang mereka miliki tamatan SMK ini nantinya bisa menjadi tenaga terampil kelas menengah yang bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam dunia usaha/dunia industri. Disamping itu tamatan SMK juga diharapkan bisa bersaing dengan lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) dalam meraih kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Euforia Kelulusan
Angka kelulusan menjadi salah satu indikator atau tolak ukur tingkat keberhasilan sekolah dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar (KBM). Angka kelulusan tinggi bisa pula dianggap sebuah prestasi sehingga kebanggaan bagi sekolah yang bersangkutan. Tidak sampai disitu, angka kelulusan yang tinggi bisa juga menjadi bahan promosi untuk menarik minat calon siswa baru. Tidak mengherankan angka kelulusan ini menjadi begitu penting dan berharga bagi sekolah, terlebih apabila diumumkan sebagai sekolah dengan tingkat kelulusan atau nilai tertinggi maka euforia akan nampak jelas sekali.

Ukuran Keberhasilan
Apakah SMK dengan tingkat kelulusan yang tinggi bisa dikatakan berhasil?
Jawabannya tergantung dari DEFINISI KEBERHASILAN yang kita inginkan (required successful).
Jika keberhasilan didefinisikan sebagai pencapaian tingkat kelulusan tertinggi (100%), maka setiap SMK yang mampu mencapai nilai kelulusan 100% bisa dikatakan sebagai sekolah yang berhasil. Logikanya untuk bisa dikatakan sebagai sekolah yang berhasil maka sekolah harus mencapai tingkat kelulusan 100%, jika sebaliknya apabila SMK tidak mampu mencapai angka kelulusan 100% maka sekolah bersangkutan dikatakan tidak berhasil. Maka pada konteks ini masalah menjadi sederhana yaitu bagaimana sekolah mencapai angka 100%.

Tepatkah tingkat keberhasilan hanya diukur dari tingkat kelulusan saja?
SMK adalah sekolah yang menghasilkan output dengan berbekal keterampilan. Harapannya para lulusan SMK ini bisa 1) diterima bekerja di dunia usaha/dunia industri (DU/DI) 2) bisa menciptakan lapangan kerja sendiri (entrepreneurship) 3) bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi. Berhasil tidaknya sebuah SMK bisa juga diukur dari bisa tidaknya memenuhi ketiga harapan di atas. SMK dengan jumlah output dan tingkat serapan tenaga kerja yang tinggi menandakan sekolah tersebut mampu menyesuaikan dengan kebutuhan DU/DI. Selanjutnya indikator keberhasilan yang lain bisa juga dari tingkat kelulusan dalam ujian masuk perguruan tinggi.

Dengan demikian secara garis besar terdapat tiga indikator untuk mengukur kualitas atau tingkat keberhasilan sebuah SMK yaitu :
Pertama, tingkat kelulusan
Kedua, tingkat serapan kerja pada DU/DI
Ketiga, tingkat kelulusan dalam ujian masuk perguruan tinggi.
Ketiga indikator tersebut bisa dijadikan sebagai umpan balik (feedback) bagi proses internal di dalam sekolah untuk mengevaluasi serta menilai proses internal yang berlangsung di sekolah. Untuk itu perlu adanya historical data mengenai penelusuran tamatan SMK untuk mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan sebuah SMK tersebut. Tentu output yang tinggi tidak akan berarti apa-apa jika outcome nya rendah. Kita tentu berharap SMK bisa menghasilkan output yang tinggi sekaligus outcome yang berkualitas sesuai dengan semboyan "SMK BISA, SIAP KERJA, CERDAS dan KOMPETITIF". Kita tidak ingin tamatan SMK menjadi beban masyarakat karena tidak bisa bekerja ataupun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa SMK sebagai sebuah lembaga pendidikan formal harus dilihat sebagai sebuah sub-sistem dari sebuah sistem  yang lebih besar. SMK tidak bisa lepas persaingan dalam DU/DI, maupun kompetisi dalam ujian masuk perguruan tinggi. Dengan demikian SMK yang berkualitas adalah SMK yang bisa memenuhi ketiga indikator di atas.








Senin, 10 Desember 2012

Perbedaan Data Diskrit dan Data Kontinyu




Statistik pada dasarnya mempunyai dua pengertian yaitu statistik dalam pengertian sempit dan dalam pengertian luas. Dalam pengertian yang sempit statistik diartikan sebagai data ringkasan yang berbentuk angka (kuantitatif) yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan lain-lain.Sedangkan dalam pengertian yang luas, statistik merupakan ilmu yang mempelajari cara pengumpulan, penyajian, penganalisian dan pengambilan kesimpulan berdasarkan data yang berbentuk angka

JENIS - JENIS DATA
 Menurut bentuknya data dapat dibedakan menjadi 1) Data kualitatif, yaitu data yang disajikan bukan dalam bentuk angka tapi dalam bentuk kata, kalimat atau gambar. Contoh : data jenis kelamin, agama, warna sepeda motor. 2) Data kuantitaif, yaitu data disajikan dalam bentuk angka. Contoh data tinggi badan, berat badan, nilai matematika. 

Data kuantitatif dapat dibedakan lagi menjadi data diskrit dan data kontinyu. Data diskrit merupakan data yang selalu berbentuk bilangan bulat, misalnya perusahaan A menjual 100 buah mobil dan 200 sepeda motor. Nah ada juga yang masih merupakan jenis dari data deskrit yaitu yang disebut data Nominal, yaitu data yang menyatakan kategori, misalnya kategori jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Sedangkan data kontinyu merupakan data yang diperoleh dengan cara mengukur bisa dalam bentuk bilangan bulat maupun pecahan. Contohnya rata kecepatan mobil 90 km/jam, tinggi badan si A 155,6 cm. 

Ada pula yang disebut dengan Data Ordinal yaitu data yang menyatakan rangking atau peringkat dari obyek yang diukur. Misalnya dalam suatu kelas siswa yang mendapat nilai 100 dinayatakan rangking 1, nilai 98 ragking 2, nilai 80 rangking 3, dan seterusnya.

Selanjutnya data menurut sumbernya dibedakan menjadi 1) Data Primer, yaitu data yang didapat langsung dari sumbernya dan dikumpulkan oleh peneliti sendiri. Metode yang dapat dipakai untuk mendapatkan data primer bisa dilakukan dengan cara observasi, wawancara (interview) atau daftar pertanyaan (quisioner). 2) Data Sekunder, yaitu data yang tidak didapat langsung dari sumbernya tetapi dikumpulkan oleh pihak lain, misalnya laporan-laporan yang dipublikasikan, laporan dari suatu lembaga, naskah publikasi, dan lain-lain.
        

Minggu, 09 Desember 2012

ENERGI GEOTHERMAL dalam BAURAN ENERGI INDONESIA

Energi panas bumi merupakan energi yang diekstrak dari panas yang tersimpan di dalam bumi.  Energi panas Bumi ini berasal dari aktivitas tektonik di dalam bumi yang terjadi sejak planet ini diciptakan. Panas ini juga berasal dari panas matahari yang diserap oleh permukaan Bumi. 
Pengembangan dan penyempurnaan dalam teknologi pengeboran dan ekstraksi telah memperluas jangkauan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas Bumi dari lempeng tektonik terdekat. Efisiensi termal dari pembangkit listrik tenaga panas Bumi cenderung rendah karena fluida panas Bumi berada pada temperatur yang lebih rendah dibandingkan dengan uap atau air mendidih. Berdasarkan hukum termodinamika, rendahnya temperatur membatasi efisiensi dari mesin kalor dalam mengambil energi selama menghasilkan listrik. Sisa panas terbuang, kecuali jika bisa dimanfaatkan secara lokal dan langsung, misalnya untuk pemanas ruangan. Efisiensi sistem tidak memengaruhi biaya operasional seperti pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil.
Indonesia memiiki potensi energi panas bumi nomor empat di dunia dengan potensi sekitar 27 Giga Watt  atau sekitar 40% cadangan panas bumi dunia. Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan sekitar 1,2 Giga Watt. Kebijakan energi nasional telah menargetkan agar panas bumi dapat menyokong 5% bauran energi nasional pada tahun 2025, namun sampai saat ini panas bumi baru berkontribusi 1- 4% dengan perkembangan yang lambat.
Panas bumi sebagai energi terbarukan dapat menopang ketahanan energi nasional dalam jangka panjang, antara lain karena rendah emisi dan butuh lebih sedikit lahan daripada jenis energi lain, mengurangi ketergatungan bahan bakar fosil untuk kebutuhan energi listrik, dan mengurangi beban subsidi energi.
Sifat panas bumi yang site-specifc, tidak dapat disimpan dan tidak dapat ditransportasikan jauh membuatnya tidak bisa jadi komoditi ekspor dan akhirnya lebih tahan terhadap kompetisi energi global dan fluktuasi harga energi dunia. Selain itu, pengembangan energi panas bumi menciptakan lapangan pekerjaan yang mendorong peningkatan kesejahteraan dan produktifitas ekonomi masyarakat sekitar.
Mengingat panas bumi merupakan energi terbarukan yang rendah emisi dan ramah lingkungan, maka dalam pengelolaannya perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :
1. Pemanfaatn panas bumi harus memperhatikan aspek kelestarian dan peningkatan nilai-nilai konservasi (keanekaragaman hayati dan habitatnya, tata ruang, ekosistem, lingkungan, serta masyarakat setempat). Oleh karena itu dibutuhkan penilaian strategis agar meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dan nilai konservasi.
2. Pertimbangan sosial ekonomi dan lingkungan yang terintegrasi dalam perencanaan kegiatan pengembangan untuk mengantisipasi resiko yang dapat terjadi dan mengancam keberlanjutan kegiatan.
3. Pengakuan terhadap hak masyarakat lokal dengan memastikan partisipasi mereka sejak proses perencanaan hingga pelaksanaan.
Untuk mendorong pengembangan panas bumi yang berkelanjutan dan mendukung ketahanan energi nasional, maka peran serta para pemangku kepentingan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi proyek secara keseluruhan, diantaranya Bapenas, Dewan Energi Nasional, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, PT. PLN (Persero), Perusahaan Pengembang Panas Bumi dan Asosisasi Panas Bumi Indonesia, Akademisi, dan Organisasi Swadaya Masyarakat lain.
 Sampai dengan tahun 2004 telah diidentifikasi 252 lokasi panas bumi dengan total potensi sekitar 27.357 Mega Watt. Sebanyak 807 MW (3%) telah dimanfaatkan sebagai energi listrik serta telah menyumbang sekitar 2% pemakaian energi listrik nasional.
Mengacu kepada Undang-Undang No. 27/2003 tentang Panas Bumi, telah dibuat road map panas bumi sebagai pedoman dan pola tetap pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi di Indonesia. Diinginkan dalam road map tersebut pemanfaatan panas bumi untuk energi listrik sebesar 6000 MW pada tahun 2020.
 
KONSUMSI ENERGI
Pemakaian energi di Indonesia masih dodominasi oleh sektor industri yakni sebesar 51%, kemudian diikuti  oleh sektor transportasi (30%), rumah tangga (11%), komersial (5%), serta sektor petanian, konstruksi dan pertambangan atau PKP (3%)

                                                        
Energy Consumption


BAURAN ENERGI (MIX ENERGY)
Sampai tahun 2004 energi Indonesia sebagian besar dihasilkan dari penggunaan bahan bakar minyak yang menyumbang sekitar 48%, diikuti dengan penggunaan batubara (30%), gas (19%), serta energi terbarukan (air 2%, geothermal 1%). Sesuai amanat Kepres No. 5/2006 maka komposisi bauran energi Indonesia bisa mencapai minyak (20%), gas (30%), batubara (33%), serta energi terbarukan (17%).

Mix Energy
WILAYAH KERJA PERTAMBANGAN (WKP) PANAS BUMI
Pemerintah telah membuat 33 WKP berdasarkan besarnya potensi yang ada di masing-masing wilayah. Dengan adanya WKP tersebut diharapkan akan mempercepat pengembangan panas bumi untuk memenuhi kebutuhan energi domestik dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.

WKP Indonesia

Diolah dari berbagai sumber













Sabtu, 20 Oktober 2012

Strategi Pengembangan Wilayah Dalam Perspektif Teknik Sistem

Dalam perspektif sistem, ruang (dunia) adalah sebuah sistem yang saling terkoneksi, interaksi dan bersifat majemuk. Dengan demikian setiap bagian dunia sampai bagian terkecil akan dilihat sebagai sebuah sistem yang terbuka sehingga siap mengantispasi setiap perubahan zaman.
      Perspektif sistem memandang bahwa dunia tidak semata-mata bergerak ke satu arah. Skenario masa depan dunia akan berjalan tak terduga dan penuh kemungkinan sehingga diperlukan mind set untuk menerima adanya beberapa "masa depan dunia". Dengan demikian kompetensi dan strategi pembangunan harus diuji agar mampu menghadapi apapun masa depan yang mungkin terjadi.
      Patut diduga bahwa berbagai pendekatan perencanaan pembangunan yang terpecah-pecah secara sektoral tidak akan mampu merumuskan kompleksitas perkembangan dunia tersebut. Karena bagaimanapun model-model masa depan hanya dibangun dan dianalisa melalui pemahaman akan perilaku lingkungan sebagai sebuah sistem.

Perubahan Paradigma
Untuk bisa keluar dari persoalan pembangunan masa kini, nampaknya tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali memberanikan diri untuk 'merubah paradigma lama'. Paradigma 'profitabilitas' harus digantikan dengan paradigma 'keberlanjutan'. Demikian juga dengan paradigma 'pertumbuhan' harus diganti dengan paradigma 'keseimbangan'.
      Sementara itu paradigma 'efisiensi lingkungan' harus lebih dikedepankan daripada paradigma 'efisiensi teknis'. Paradigma 'mendominasi alam' harus segera digeser ke paradigma 'harmonisasi alam'. Guna mendukung paradigma di atas, syarat penting yang harus dipenuhi adalah penguatan internalisasi dan institusionalisasi perspektif sistem kepada setiap stakeholder pembangunan wilayah. Proses penguatan tersebut tidak saja membutuhkan pengetahuan (knowledge), tetapi lebih dari itu membutuhkan kearifan (wisdom). Hal ini sangat penting karena kearifanlah yang mampu mengatasi keterbatasan dan juga keangkuhan manusia dalam membuka rahasia alam.
      Melalui perubahan paradigma di atas, sistem ekonomi hanyalah satu aspek dari sistem sosial. Dinamika ekonomi akan sangat tergantung pada dinamika sosial yang melingkupinya. Sebaliknya berbagai landasan konseptual ekonomi yang sarat dengan model-model kuantitatif harus segera diperluas bahkan dirombak hingga mancakup sistem nilai yang berkembang di masyarakat.
      Konsekuensi selanjutnya dari pergeseran paradigma di atas adalah perlunya merubah pola perencanaan pembangunan wilayah dari pendekatan "deskrit" ke pendekatan "kontinum". Selama ini pola perencanaan deskrit yang terwujud dalam sekat-sekat wilayah administrasi justru menimbulkan suasana kontarproduktif karena setiap wilayah hanya berorientasi pada upaya penonjolan diri. Lebih jauh lagi, euforia kekuasaan pada masing-masing wilayah semakin mengikis prinsip-prinsip sistem yang mengutamakan kerjasama. Batas-batas administrasi seolah-olah menjadi 'pagar beton' yang memungkinkan penghuni di dalamnya berperilaku tanpa merasa perlu berkomunikasi dengan tetangganya atau merasa khawatir mengganggu lingkungan sekitarnya. Tidak ada proses dialog, tidak ada pembagian peran, dan tidak ada proses integralisasi. Sebaliknya melalui pendekatan "kontinum" setiap wilayah dpandang sebagai bagian integral dari totalitas sistem. Dengan demikian, disparitas antara pusat-pinggiran, kota-desa, barat-timur dan sebagainya tidak selayaknya lagi diposisikan secara berlawanan.
      Cara pandang ini secara implisit menunjukkan bahwa semua wilayah berada pada satu sistem yang sama. Tidak ada sekat yang membatasi mereka, tidak ada lagi istilah 'wilayah penyangga' dan 'wilayah disangga'. Dibawah 'paradigma sistem' pembagian peran serta hubungan yang saling menguntungkan akan berjalan melalui sebuah sistem terbuka yang memungkin terjadinya aliran energi, informasi dan materi.
      Bila aliran meningkat, sistem akan bergerak menuju sistem keseimbangan baru. Pertumbuhan pada suatu tempat bisa jadi akan diimbangi oleh penyusutan pada tempat lain. Untuk memahami kemunculan-kemunculan berbagai keseimbangan baru diperlukan suatu kerangka konseptual yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sistem ekologi, ekonomi dan sosial. Untuk itu berbagai metode ilmiah yang terpotong-potong oleh fragmentasi ilmu pengetahuan harus dapat diterobos oleh 'pisau analisis' yang lebih holistik sehingga proses-proses perubahan yang kompleks dan seringkali berpola non-linier dapat dipahami secara utuh.
      Secara implisit hal ini juga mengisyaratkan bahwa metode ilmiah yang berorientasi pada peramalan-peramalan linier perlu segera dimodifikasi. Sebaliknya metode ilmiah yang berlandaskan pada teori sistem yang mampu mengundang para ahli dan perencana untuk berfikir "out of the box" akan semakin kuat relevansinya.

Diolah dari berbagai sumber

Minggu, 14 Oktober 2012

Smart System dan Pemimpin Visioner

Kesuksesan suatu bangsa bermula dari kesuksesan individu-individu yang berada dalam bangsa tersebut (Marwah Daud Ibrahim)

      Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak terlepas dari eksistensi kerajaan-kerajaan besar masa lalu. Sebut saja Kerajaan Majapahit dengan Prabu Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Kerajaan Bali di bawah pemerintahan Dalem Waturenggung, atau kesultanan Ngayogyakarta dengan Sultan-nya merupakan beberapa contoh pemimpin pada era-nya masing-masing. Pemimpin masa itu lahir dari sistem feodal yang hadir dari garis keturunan yang tertutup.
       Dengan filsafat Manunggaling Kawula Gusti, raja atau pemimpin dianggap titisan dari Tuhan yang akan mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan berarti pengabdian yang tulus dari rakyat (Kawula) kepada raja (Gusti). Apapun perintah dari seorang raja pada waktu itu adalah anugerah yang harus dijalankan. Begitu juga hukum merupakan hukum yang bersumber dari dalam diri seorang raja. Berbagai permasalahan serasa mampu diselesaikan dalam lingkup istana. Pada masa itu pemimpin merupakan penguasa yang merangkul berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat.
      Sekarang ini dunia mengenal negarawan-negarawan Indonesia dengan pemikiran briliannya. Sebut saja Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka dan Moh. Natsir. Soekarno merupakan insinyur pertama yang memimpin republik ini, dan seorang visioner yang ingin membebaskan bangsanya dari penjajahan. Moh. Hatta seorang sarjana ekonomi yang menjadi pelopor perkoperasian Indonesia. Siapa yang tidak kenal mereka berdua, dua orang negarawan visioner yang menjadi wakil bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan.
       Karakter dan mental seorang pemimpin bangsa tidak terbentuk begitu saja melainkan ditempa dan dibina selama bertahun-tahun dalam kondisi yang sulit dan penuh ketidakpastian. Hasilnya sejarah mencatat tokok-tokoh tersebut berada dalam barisan negarawan besar yang pernah dimiliki bangsa ini. Sebagai pemimpin mereka memiliki visi besar jauh ke depan, analisis yang matang serta didukung kemampuan keilmuan yang tinggi. 
       Dunia juga mengenal pemimpin dengan visi yang cerdas, sebut saja Mahathir Muhammad yang telah mampu secara cerdas menyiasati proses globalisasi dan hegemoni peradaban barat tanpa konflik besar, lebih manageable, dan tidak tersubordinasi. Mahathir juga begitu keras dan kritis namun cerdas terhadap Barat tanpa menimbulkan konflik besar, bisa menyiasati krisis tanpa IMF dan yang paling berarti adalah berhasil mengakhiri kekuasaannya secara relatif mulus.
      Di Indonesia kita mengenal Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan". Memimpin Indonesia selama kurang lebih 32 tahun dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta pola Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, mampu melakukan kontrol sosial dan mampu mengelola konflik di masyarakat dengan mulus.
      Di Thailand terkenal seorang raja bernama Bhumibol Adulyadej. Visinya untuk membangun Thailand menjadi negara yang maju dalam bidang pertanian cukup berhasil. Raja Bhumibol selalu muncul dengan komandonya yang sangat berpengaruh. Bhumibol concern dengan visinya menggeluti sektor pertanian dengan membuat dam (irigasi) besar, menawarkan konsep teknologi pertanian, serta berbagai proyek untuk meningkatkan kualitas tanaman pertanian. Kini Thailand bukan saja menghasilkan tanaman biasa, tetapi tanaman yang terkenal di kawasannya. Kita kini mengenal durian bangkok. Mangga, jambu, dan sayuran bangkok pun terkenal memiliki kualitas yang bagus.

Sumber :
http://bem.unair.ac.id/; http://www.balebengong.net/; http://sosbud.kompasiana.com/
Menuju Indonesia Pemain Utama Ekonomi Dunia, 2008, Sutrisno, Graha Ilmu
 

Sabtu, 13 Oktober 2012

Parts Per Million Conversion




Ada yang masih bingung dengan konversi PPM ????
Barangkali berikut ini bisa membantu..semoga..

ppm = parts per million

PPM is a term used in chemistry to denote a very, very low 

concentration of a solution.
One gram in 1000 ml is 1000 ppm and 
one thousandth of a gram (0.001g) in 1000 ml is one ppm.

One thousandth of a gram is one milligram and 1000 ml is one liter, 
so that 1 ppm = 1 mg per liter = mg/Liter.
PPM is derived from the fact that the density of water is taken as 
1kg/L = 1,000,000 mg/L, and 1mg/L is 1mg/1,000,000mg or one part in one million. 

OBSERVE THE FOLLOWING UNITS

1 ppm = 1mg/l = 1ug /ml = 1000ug/L
ppm = ug/g =ug/ml = ng/mg = pg/ug = 10 -6
ppm = mg/litres of water

1 gram pure element disolved in 1000ml = 1000 ppm

PPB = Parts per billion = ug/L = ng/g = ng/ml = pg/mg = 10 -9

Making up 1000 ppm solutions

1. From the pure metal : weigh out accurately 1.000g of metal, 
dissolve in 1 : 1 conc. nitric or hydrochloric acid, 
and make up to the mark in 1 liter volume deionised water.

2. From a salt of the metal :
e.g. Make a 1000 ppm standard of Na using the salt NaCl.

FW of salt = 58.44g.
At. wt. of Na = 23
1g Na in relation to FW of salt = 58.44 / 23 = 2.542g.
Hence, weigh out 2.542g NaCl and dissolve in 1 liter volume 
to make a 1000 ppm Na standard.

3. From an acidic radical of the salt :
e.g. Make a 1000 ppm phosphate standard using the salt KH2PO4

FW of salt = 136.09
FW of radical PO4 = 95
1g PO4 in relation to FW of salt = 136.09 / 95 = 1.432g.
Hence, weigh out 1.432g KH2PO4 and dissolve in 1 liter volume 
to make a 1000 ppm PO4 standard.  
Ppm (parts per million) to % (parts per hundred)

Example:
1 ppm = 1/1,000,000 = 0.000001 = 0.0001%
10 ppm = 10/1,000,000 = 0.00001 = 0.001%
100 ppm = 100/1,000,000 = 0.0001 = 0.01%
200 ppn = 200/1,000,000 = 0.0002 = 0.02%
5000 ppm = 5000/1,000,000 = 0.005 = 0.5%
10,000 ppm = 10000/1,000,000 = 0.01 = 1.0%
20,000 ppm = 20000/1,000,000 = 0.02 = 2.0%

(Parts per hundred) % to ppm

Example:
0.01% = 0.0001
0.0001 x 1,000,000 = 100 ppm

Ppm (parts per million) to % (parts per hundred)

Example:
1 ppm = 1/1,000,000 = 0.000001 = 0.0001%
10 ppm = 10/1,000,000 = 0.00001 = 0.001%
100 ppm = 100/1,000,000 = 0.0001 = 0.01%
200 ppn = 200/1,000,000 = 0.0002 = 0.02%
5000 ppm = 5000/1,000,000 = 0.005 = 0.5%
10,000 ppm = 10000/1,000,000 = 0.01 = 1.0%
20,000 ppm = 20000/1,000,000 = 0.02 = 2.0%

Parts per million - ppm -  is commonly used as a measure
of small levels of pollutants in air, water, body fluids, etc.
Parts per million is the mass ratio between the pollutant
component and the solution and ppm is defined as
ppm = 1,000,000 mc / ms        
where
mc = mass of component (kg, lbm)
ms = mass of solution (kg, lbm)
In the metric system ppm can be expressed in terms
of milligram versus kg where
  • 1 mg/kg = 1 part per million
ppm can be also be expressed as:
  • 1 ppm = 0.0001 %
  • 1 000 ppm = 1‰
  • 10 000 ppm = 1%
(Sumber : http://delloyd.50megs.com/ppm.html & 
http://www.engineeringtoolbox.com/ppm-d_1039.html)